Jauh sebelum penemuan teknologi canggih seperti teleskop untuk mengamati proses terjadinya gerhana matahari dan bulan, sejumlah ilmuwan muslim telah berhasil menggambarkannya dengan akurat dan detail.
Seperti diketahui, pada abad pertengahan banyak ilmuwan muslim yang mendalami ilmu astronomi untuk menentukan waktu shalat, permulaan bulan hijriah, waktu terjadinya gerhana matahari dan bulan, serta tujuan baik lainnya.
Di antara mereka, ada 3 ilmuwan muslim mendiskripsikan proses terjadinya gerhana dalam kitab mereka.
1. Abu Ar-Raihan Al-Biruni (2 Zulhijjah 362 H/5 September 973 M – 29 Jumadil Akhir 440 H / 9 Desember 1048 M)
Al-Biruni adalah ilmuwan muslim terkenal yang unggul dalam bidang matematika dan astronomi. Ia mencatat berbagai pengamatan tentang gerhana, di antaranya dalam kitabnya Tahdîd Nihâyah Al-Aqâlîm.
“Mata manusia tidak akan sanggup menahan sinar matahari selama peroses gerhana terjadi. Melihat matahari dengan mata telanjang secara terus-menerus dapat menyebabkan mata sakit, di samping mengakibatkan penglihatan menjadi buram dan kabur.”
Al-Biruni menyarankan agar melihat matahari pada saat gerhana melalui air yang tergenang dan jangan sesekali melihatnya secara langsung.
Di samping itu, Al-Biruni menambahkan, pengamatannya terhadap gerhana pada masa muda berakibat buruk pada penglihatannya, sehingga penglihatannya menjadi lemah.
Menurut laman Masrawy, Al-Biruni telah menggambarkan proses gerhana matahari yang terjadi pada tanggal 8 April 1019 M di Afghanistan dan gerhana bulan pada bulan September 1019 M secara detail. Selain itu, ia juga memberikan koordinat yang akurat terkait posisi bintang selama terjadinya gerhana bulan.
Dalam kitabnya, Al-Biruni menulis tentang gerhana matahari yang dia amati di wilayah Laghman, sebuah lembah yang terletak di antara kota Kandahar dan Kabul di Afghanistan.
Ia mengatakan, “Saat matahari terbit, kami melihat dua pertiga bagian darinya berwarna gelap, kemudian gerhana mulai berakhir sedikit demi sedikit.”
2. Abu Al-Faraj Al-Jauzi (510 H / 1116 M - 597 H / 1203 M)
Sejarawan Baghdad yang terkenal dengan julukan Ibnul Jauzi ini menulis tentang gerhana matahari total yang terjadi pada 20 Juni 1061 M dalam kitabnya Al-Muntazhim Fî Târîkh Al-Mulûk wa Al-Umam.
Ia menulisnya sekitar satu abad setelah gerhana itu terjadi.
“Pada tahun 453 H, dua hari sebelum bulan Jumadil Awal berakhir, tepatnya dua jam setelah terbit fajar, terjadi gerhana matahari total. Kegelapan menyelimuti semua penjuru negeri. Burung-burung pun terganggu saat terbang. Para peramal ketika itu berharap seperenam bagian dari matahari tidak lenyap. Namun, hal itu tidak terjadi, karena terjadi gerhana total.
Matahari muncul kembali setelah empat jam terjadi gerhana. Proses terjadinya gerhana total ini tidak dapat disaksikan selain di kota Baghdad dan sekitarnya.”
3. Abu Yahya Zakaria bin Muhammad Al-Qazwini (605 H / 1203 M - 682 H / 1283 M)
Al-Qazwini adalah ilmuwan muslim keturunan arab yang lahir di Iran dan meninggal di Irak. Dalam kitabnya, Ajâib Al-Makhlûqât wa Gharâ`ib Al-Maujûdât, ia menjelaskan fenomena gerhana matahari dan bulan.
“Permukaan bulan yang menghadap matahari akan selalu bercahaya. Jika posisi bulan berada dekat dengan matahari, permukaannya yang gelap akan menghadap ke arah bumi. Jika bulan mulai bergerak ke arah timur dan menjauh dari matahari, permukaan gelap yang berada di arah barat akan mengarah ke bumi, sehingga akan terlihat permukaannya yang terang. Pada saat itu, di bumi akan terlihat bulan sabit (hilal).”
Dalam kitabnya itu, Al-Qazwini mengatakan, gerhana bulan terjadi ketika posisi bumi berada di antara bulan dan matahari. Adapun gerhana matahari terjadi pada saat posisi bulan berada di antara bumi dan matahari.
Dalam kitab tersebut, Al-Qazwini pun menampilkan beberapa gambar yang berasal dari manuskrip tua tentang proses terjadinya gerhana matahari dan bulan.
[Abu Syafiq/Fimadani]
Seperti diketahui, pada abad pertengahan banyak ilmuwan muslim yang mendalami ilmu astronomi untuk menentukan waktu shalat, permulaan bulan hijriah, waktu terjadinya gerhana matahari dan bulan, serta tujuan baik lainnya.
Di antara mereka, ada 3 ilmuwan muslim mendiskripsikan proses terjadinya gerhana dalam kitab mereka.
1. Abu Ar-Raihan Al-Biruni (2 Zulhijjah 362 H/5 September 973 M – 29 Jumadil Akhir 440 H / 9 Desember 1048 M)
Al-Biruni adalah ilmuwan muslim terkenal yang unggul dalam bidang matematika dan astronomi. Ia mencatat berbagai pengamatan tentang gerhana, di antaranya dalam kitabnya Tahdîd Nihâyah Al-Aqâlîm.
“Mata manusia tidak akan sanggup menahan sinar matahari selama peroses gerhana terjadi. Melihat matahari dengan mata telanjang secara terus-menerus dapat menyebabkan mata sakit, di samping mengakibatkan penglihatan menjadi buram dan kabur.”
Al-Biruni menyarankan agar melihat matahari pada saat gerhana melalui air yang tergenang dan jangan sesekali melihatnya secara langsung.
Di samping itu, Al-Biruni menambahkan, pengamatannya terhadap gerhana pada masa muda berakibat buruk pada penglihatannya, sehingga penglihatannya menjadi lemah.
Menurut laman Masrawy, Al-Biruni telah menggambarkan proses gerhana matahari yang terjadi pada tanggal 8 April 1019 M di Afghanistan dan gerhana bulan pada bulan September 1019 M secara detail. Selain itu, ia juga memberikan koordinat yang akurat terkait posisi bintang selama terjadinya gerhana bulan.
Dalam kitabnya, Al-Biruni menulis tentang gerhana matahari yang dia amati di wilayah Laghman, sebuah lembah yang terletak di antara kota Kandahar dan Kabul di Afghanistan.
Ia mengatakan, “Saat matahari terbit, kami melihat dua pertiga bagian darinya berwarna gelap, kemudian gerhana mulai berakhir sedikit demi sedikit.”
2. Abu Al-Faraj Al-Jauzi (510 H / 1116 M - 597 H / 1203 M)
Sejarawan Baghdad yang terkenal dengan julukan Ibnul Jauzi ini menulis tentang gerhana matahari total yang terjadi pada 20 Juni 1061 M dalam kitabnya Al-Muntazhim Fî Târîkh Al-Mulûk wa Al-Umam.
Ia menulisnya sekitar satu abad setelah gerhana itu terjadi.
“Pada tahun 453 H, dua hari sebelum bulan Jumadil Awal berakhir, tepatnya dua jam setelah terbit fajar, terjadi gerhana matahari total. Kegelapan menyelimuti semua penjuru negeri. Burung-burung pun terganggu saat terbang. Para peramal ketika itu berharap seperenam bagian dari matahari tidak lenyap. Namun, hal itu tidak terjadi, karena terjadi gerhana total.
Matahari muncul kembali setelah empat jam terjadi gerhana. Proses terjadinya gerhana total ini tidak dapat disaksikan selain di kota Baghdad dan sekitarnya.”
3. Abu Yahya Zakaria bin Muhammad Al-Qazwini (605 H / 1203 M - 682 H / 1283 M)
Al-Qazwini adalah ilmuwan muslim keturunan arab yang lahir di Iran dan meninggal di Irak. Dalam kitabnya, Ajâib Al-Makhlûqât wa Gharâ`ib Al-Maujûdât, ia menjelaskan fenomena gerhana matahari dan bulan.
“Permukaan bulan yang menghadap matahari akan selalu bercahaya. Jika posisi bulan berada dekat dengan matahari, permukaannya yang gelap akan menghadap ke arah bumi. Jika bulan mulai bergerak ke arah timur dan menjauh dari matahari, permukaan gelap yang berada di arah barat akan mengarah ke bumi, sehingga akan terlihat permukaannya yang terang. Pada saat itu, di bumi akan terlihat bulan sabit (hilal).”
Dalam kitabnya itu, Al-Qazwini mengatakan, gerhana bulan terjadi ketika posisi bumi berada di antara bulan dan matahari. Adapun gerhana matahari terjadi pada saat posisi bulan berada di antara bumi dan matahari.
Dalam kitab tersebut, Al-Qazwini pun menampilkan beberapa gambar yang berasal dari manuskrip tua tentang proses terjadinya gerhana matahari dan bulan.
[Abu Syafiq/Fimadani]
Advertisement
EmoticonEmoticon